Photobucket

23 October 2010

Surat Terbuka untuk YTH Bapak Presiden Republik Indonesia

1 comments
Assalamualaikum wr wb. Bapak Presiden, Susilo Bambang Yudhoyono Yang Terhormat. Bulan Ramadhan 65 tahun lalu, saat Proklamasi Kemerdekaan dikumandangkan tepat hari Jumat.

Ya... 65 tahun Indonesia telah merdeka, dan selama itu, bapak telah beberapa kali menyaksikan dan mengetahui bahwa Indonesia pernah dipimpin oleh beberapa penguasa, yang adil maupun yang dzalim. Dan sejak dulu kala, rakyat senantiasa memperhatikan tindak tanduk para penguasa itu, dan saat inipun rakyat akan dan selalu melakukan hal yang sama terhadap bapak, persis seperti saat itu, ketika bapak sedang mengamati dan memperhatikan tindakan-tindakan para penguasa sebelum bapak. Dan, seperti yang bapak ketahui, pada akhirnya nanti, rakyat pasti akan menilai kinerja bapak seperti yang pernah bapak lakukan saat menilai para penguasa terdahulu.

Kami begitu yakin, jika disuatu tempat, terdapat orang yang bijak, adil dan bersahaja, dan bisa dipastikan orang tersebut akan diketahui dengan baik oleh rakyat, karena Tuhan yang Esa, demi maslahat umat tidak akan menyembunyikan hamba-Nya yang saleh. Karena itu, janganlah dianggap lancang jika kami memohon kepada bapak untuk menjadikan amal saleh sebagai koleksi perbuatan yang terbaik. Mohon, sayangilah diri bapak untuk tidak mendekati perbuatan-perbuatan yang telah diharamkan atas bapak, percayalah bahwa menyayangi diri sendiri berarti mampu memilih dan memilah serta menyeimbangkan diri diantara apa yang sedang disukainya dan apa yang dibencinya.





Percayalah bahwa kami tidak akan pernah segan untuk memohon kepada bapak, agar hati bapak senantiasa welas asih, cinta kasih dan ramah tamah kepada rakyat. Seperti yang kami ketahui, bahwa rakyat adalah salah satu umat manusia di antara dua golongan; saudara bapak dalam agama, atau sama dalam ciptaan.

Benar, mereka mungkin seringkali melakukan kekeliruan dan kesalahan. Sahih, mereka mungkin acapkali berbuat salah dengan sengaja atau karena lalai. Namun, demi rakyatmu ulurkanlah kepada mereka ampunan dan maaf, sebagaimana yang bapak inginkan dan harapkan dari Tuhan, yaitu uluran tangan-Nya demi ampunan dan maaf-Nya. Benar, dan kamipun sadar, secara posisi, kedudukan bapak jauh di atas kami, karena bapak adalah pemimpin bagi kami. Maka bersyukurlah karena Tuhan yang Maha Kasih yang telah mengangkat bapak sebagai pemimpin kami melalui pemilu demokratis. Tuhan mengendaki bapak untuk mengurus dan membenahi tata kehidupan kami, kemakmuran kehidupan kami, dan disitulah Tuhan berkehendak untuk menguji bapak melalui kami, rakyatmu.

Bapak Presiden Yang Kami Cintai

Seperti yang telah kami tulis diatas, kami tidak akan pernah bosan memohon kepada bapak, berhati-hatilah dalam berkompetisi melawan Tuhan dan kebesaram Tuhan, atau jangan sekali-kali menyamakan diri dengan-Nya dalam kekuasaan dan keperkasaan-Nya, karena seperti yang bapak ketahui, Tuhan tidak akan pernah segan-segan menghinakan setiap pendakwa kuasa dan akan melemahkan setiap orang yang mengaku perkasa.

Mohon, tempatkan posisi rakyat pada tempat yang selayaknya, koruptor pada hukumannya, kerabat bapak pada posisinya serta orang-orang yang bapak cintai. Jika bapak tidak memperlakukan mereka secara adil dan bijaksana, maka saat itu bapak telah melakukan sebuah kedzaliman. Dan, jika seseorang telah melakukan kedzaliman terhadap hamba-hamba Tuhan, maka di belakang sana, adalah Tuhan sendiri yang menjadi penolong mereka. Dan, apabila seseorang menjadikan Tuhan sebagai lawan, maka Dia-lah yang akan meluluhlantakkan kekuatannya. Pendhalim itu akan di tetapkan Tuhan sebagai musuh yang memerangi-Nya sampai orang tersebut mau menghentikan kedzalimannya dan bersegera bertaubat. Tak ada hal yang lebih, tak ada sebab yang benar, sehingga karunia Tuhan hilang dan lenyap atau begitu cepat pembalasan-Nya selain seseorang tersebut secara terus menerus melakukan kedzaliman. Dan, sesungguhnya Tuhan Maha Mendengar doa orang-orang yang tertindas dan Tuhan senantiasa mengintai para penindas.

Bapak Presiden Yang Kami Hormati

Perkenankanlah kami wadul melalui surat terbuka ini. Rakyat miskin pak.....mereka adalah kaum yang tidak mempunyai cukup modal, mereka adalah rakyatmu yang tidak memiliki apa-apa, mereka adalah rakyatmu yang tak memiliki kebanggaan kecuali mengetahui bahwa bapak adalah pengayom mereka, dan sekali lagi mereka adalah rakyatmu yang tak berdaya karena system yang membekap. Tahukah bapak bahwa ada diantara ribuan dari rakyatmu, terdapat para miskin yang menanggung sengsara dan memilih cara untuk diam, ada pula sebagian dari mereka yang bertahan hidup dengan cara mengemis? Bapak Presiden.... Kami mohon dan sekaligus menuntut, tolonglah mereka, mereka butuh perlindungan atas hak-hak mereka sebagai manusia, jika mereka tak layak disebut sebagai rakyatmu, sebagaimana Tuhan juga menuntut kepada Bapak untuk melindungi mereka. Tolonglah, untuk mereka, sisakan bagian dari anggaran negara, untuk melindungi mereka sebagai manusia.

Jika saat-saat ini, bapak mampu membebaskan para koruptor dari jeratan hukum, kenapa dan mengapa untuk membebaskan mereka yang papa, nampak sekali bapak terlampau tak berdaya?

Bapak Presiden, Susilo Bambang Yudhoyono Yang Terhormat

Hak-hak mereka, kaum pinggiran ini, sungguh telah diamanatkan di pundak bapak. Mereka juga terlampau percaya menaruh harapan dan welas asih di punggung bapak. Karena itu, mohon kiranya, janganlah bapak biarkan ada dinding pemisah bentuk apa pun, tembok penghalang seperti apapun yang menahan sampainya keluh kesah mereka ke hadapan bapak. Udzur bapak sama sekali tidak diterima, tatkala bapak mengabaikan waktu-waktu penting untuk rakyatmu demi konsentrasi pada urusan orang-orang sok besar demi bisnis dan kidungmu. Maka, kami mohon jangan sekali-kali, jangan abaikan mereka, dan jangan palingkan wajah dari mereka demi pencuri harta bangsa yang durjana.

Tahukah bapak? Jika sebagian dari rakyatmu segan mendekatimu?, Jika sebagian dari gembel putra putrid bangsa, segan berkeluh kesah kepadamu?, Karena mereka terlalu tahu diri, penampilan mereka yang tak enak dan tak sedap dipandang akan merusak citramu, dan akan menampar muka orang-orang disekitarmu. Karena rakyatmu, adalah gembel rendahan dimata sebagian orang-orang yang saban hari menthawafimu.

Karena itu, mohon pilihlah jalan yang paling tengah dalam kebenaran, jalan yang paling merata dalam keadilan, dan jalan yang paling mencakup kepuasan rakyatmu dan orang yang senantiasa menthawafimu. Ketidakpuasan rakyatmu, akan mengakibatkan keinginan mereka yang mengitarimu tidak akan lagi ada arti apalagi kidung itu, dan percayalah, ketidakpuasan mereka yang mengitarimu akan tertutupi dengan kepuasan rakyatmu.

Bapak Presiden, mereka yang senantiasa terdepan dihadapan musuh-musuhmu adalah rakyatmu. Rakyatmulah yang menjadi pilar tegak dan runtuhnya negeri ini. Rakyatmulah yang senantiasa bersabar dalam menahan kesusahan hidup. Karenanya senantiasalah bersama mereka dan rasakan denyut dan desah kehidupan mereka.

Bapak Presiden, mereka yang selalu melimpahkan segala kekurangan dan aib rakyatmu, adalah sebagian dari mereka yang berputar menthawafimu. Merekalah yang senantiasa membuka aib dan membuka jurang pemisah antaramu degan rakyatmu. Padahal, bapaklah orang yang paling layak menutupi kekurangan dan aib itu. Jelas kami, rakyatmu sadar, bahwa dalam tubuh kami terdapat kekurangan dan aib, untuk itu, bapaklah yang paling patut untuk merahasiakan atau membeberkannya jika memang perlu.

Bapak Presiden, hapuslah segala benih dengki terhadap rakyatmu, tegas dan potonglah setiap akar permusuhan yang menjalar melilit disekelilingmu. Semoga bapak selalu waspada atas akibat dari sesuatu yang kelihatan tidak nampak, senantiasa bijak dalam menerima berita dan hasutan tentang rakyatmu dari orang sekelilingmu, karena mereka itu adalah penipu, walau ia menjelma seperti orang yang berhati madu. Untuk itu, mohon kepada bapak untuk memilih dan mengangkat orang-orang yang terpercaya, beriman dan sederhana demi rakyatmu.

Bapak presiden, rakyat miskinlah yang paling patut menerima perlakuan adil, bukan terpidana korupsi yang mendapat anugrah pengampunan, dan dalam waktu yang sama jangan lupakan pula hak-hak pendosa lain sebagai tanggungjawab dihadapan Tuhan.

Bapak Presiden Yang Kami Hormati

Mohon, bersabarlah atas kekakuan dan ketidakmampuan rakyatmu yang senantiasa menggerutu. Semoga Tuhan Yang Esa membentangkan rahmat-Nya di hadapan bapak dan rakyatmu, lalu memberi ganjaran kepada bapak sebagai imbalan ketaatan kepada-Nya. Apa saja yang dapat bapak berikan kepada rakyat, maka, mohon berikanlah dengan ramah dan senyum. Namun, jika menurut bapak mereka tidak layak untuk itu, maka tolaklah dengan cara yang terbaik dan tanpa berdalih.

Bapak Presiden, seperti yang bapak ketahui, rakyatmu terdiri dari berbagai golongan, ras, bangsa dan bahasa. Masing-masing golongan itu mustahil akan mampu bertahan untuk hidup, kecuali dengan bantuan sesama, satu dengan lainnya senantiasa saling membutuhkan. Karenanya, senantiasa bimbinglah rakyatmu agar masing-masing menemukan fungsi dan jati dirinya.

Bapak Presiden Yang Terhormat

Keadilan adalah buah hati dan hadiah terbesar bagi para pemimpin untuk rakyatnya, tegaknya keadilan di tengah masyarakat, adalah cermin kecintaan pemimpin atas rakyat. Namun, percayalah pak, kecintaan akan terwujud tatkala para pemimpin berhati bersih. Pun ketulusan rakyat akan terwujud jika para pemimpin dengan tulus melindungi hak-hak mereka, serta tidak menaruh beban berat di pundaknya, semoga bapak menerima kenyataan ini dengan segenap ketulusan, sehingga rakyat tidak akan menunggu-nunggu, kapan berakhir masa jabatan bapak.

Untuk itu, usahakanlah untuk berlapang dada dengan menaruh harapan dan cita-cita untuk rakyat.

Bapak Presiden, saya akan sudahi keluh kesah dan harapan ini, dan tidak akan kami perpanjang lagi. Bukan karena kapok, tapi terlampau keluh rasanya lidah ini. Kami hanya bisa mengatakan, semua perkara dan segala urusan, senantiasa akan disingkapkan di hadapan bapak, dan bapaklah orang yang paling bertanggungjawab menjawabnya. Apa tindakan bapak untuk mengatasi problematika orang-orang yang tertindas di negeri ini? Dan apa balasan yang akan bapak timpakan terhadap para penindas di negeri ini?

Untuk terakhir kalinya, sekali-kali perlulah bapak menengok dan mengingat kembali keadaan serta nasib yang pernah berlangsung pada orang-orang yang sudah mendahului bapak, entah dari pemerintah, dari kabilah dan orang-orang besar atau rakyat jelata. Atau sempatkanlah untuk membaca dan menengok kembali perintah dan larangan wajib yang terkandung dalam Kitab Tuhan.

Kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, di bulan Ramadhan penuh berkah ini, kami berdoa memohon dengan rahmat-Nya yang tak terbatas, dengan keagungan kekuasaan-Nya dalam memberikan kebaikan yang tak terhingga, semoga Tuhan mengampuni kita semua, semoga Tuhan memberikan kemakmuran, keadilan dan peninggian kemuliaan di atas tanah yang belum merdeka, dan semoga Tuhan berkenan menerima keadaaan kita untuk menjalani kematian dengan kematian yang terbaik.

Sesungguhnya kita dari-Nya, dan kelak kita akan kembali kepada-Nya. Akhirnya, semoga Tuhan mencurahkan rahmat dan hidayah-Nya kepada para pahlawan yang telah memerdekakan tanah negeri ini.

Amin ya Rabbal Alamin...

Wassalam wr wb

21 September 2010

Free Trade

1 comments
by Alan S. Blinder
For more than two centuries economists have steadfastly promoted free trade among nations as the best trade policy. Despite this intellectual barrage, many “practical” men and women continue to view the case for free trade skeptically, as an abstract argument made by ivory tower economists with, at most, one foot on terra firma. These practical people “know” that our vital industries must be protected from foreign COMPETITION.

The divergence between economists’ beliefs and those of (even well-educated) men and women on the street seems to arise in making the leap from individuals to nations. In running our personal affairs, virtually all of us exploit the advantages of free trade and comparative advantage without thinking twice. For example, many of us have our shirts laundered at professional cleaners rather than wash and iron them ourselves. Anyone who advised us to “protect” ourselves from the “unfair competition” of low-paid laundry workers by doing our own wash would be thought looney. Common sense tells us to make use of companies that specialize in such work, paying them with money we earn doing something we do better. We understand intuitively that cutting ourselves off from specialists can only lower our standard of living.
ADAM SMITH ’s insight was that precisely the same logic applies to nations. Here is how he put it in 1776:
It is the maxim of every prudent master of a family, never to attempt to make at home what it will cost him more to make than to buy.. . . If a foreign country can SUPPLY us with a commodity cheaper than we ourselves can make it, better buy it of them with some part of the produce of our own industry, employed in a way in which we have some advantage.
Spain, South Korea, and a variety of other countries manufacture shoes more cheaply than America can. They offer them for sale to us. Shall we buy them, as we buy the services of laundry workers, with money we earn doing things we do well—like writing computer software and growing wheat? Or shall we keep “cheap foreign shoes” out and purchase more expensive American shoes instead? It is pretty clear that the nation as a whole must be worse off if foreign shoes are kept out—even though the American shoe industry will be better off.
Most people accept this argument. But they worry about what happens if another country—say, China—can make everything, or almost everything, cheaper than we can. Will free trade with China then lead to UNEMPLOYMENT for American workers, who will find themselves unable to compete with cheaper Chinese labor? The answer (see COMPARATIVE ADVANTAGE), which was provided by DAVID RICARDO in 1810, is no. To see why, let us once again appeal to our personal affairs.
Some lawyers are better typists than their secretaries. Should such a lawyer fire his secretary and do his own typing? Not likely. Though the lawyer may be better than the secretary at both arguing cases and typing, he will fare better by concentrating his energies on the practice of law and leaving the typing to a secretary. Such specialization not only makes the economy more efficient but also gives both lawyer and secretary productive work to do.
The same idea applies to nations. Suppose the Chinese could manufacture everything more cheaply than we can—which is certainly not true. Even in this worst-case scenario, there will of necessity be some industries in which China has an overwhelming cost advantage (say, toys) and others in which its cost advantage is slight (say, computers). Under free trade the United States will produce most of the computers, China will produce most of the toys, and the two nations will trade. The two countries, taken together, will get both products cheaper than if each produced them at home to meet all of its domestic needs. And, what is also important, workers in both countries will have jobs.
Many people are skeptical about this argument for the following reason. Suppose the average American worker earns twenty dollars per hour while the average Chinese worker earns just two dollars per hour. Won’t free trade make it impossible to defend the higher American wage? Won’t there instead be a leveling down until, say, both American and Chinese workers earn eleven dollars per hour? The answer, once again, is no. And specialization is part of the reason.
If there were only one industry and occupation in which people could work, then free trade would indeed force American wages close to Chinese levels if Chinese workers were as good as Americans. But modern economies are composed of many industries and occupations. If America concentrates its employment where it does best, there is no reason why American wages cannot remain far above Chinese wages for a long time—even though the two nations trade freely. A country’s wage level depends fundamentally on the PRODUCTIVITY of its labor force, not on its trade policy. As long as American workers remain more skilled and better educated, work with more capital, and use superior technology, they will continue to earn higher wages than their Chinese counterparts. If and when these advantages end, the wage gap will disappear. Trade is a mere detail that helps ensure that American labor is employed where, in Adam Smith’s phrase, it has some advantage.
Those who are still not convinced should recall that China’s trade surplus with the United States has been widening precisely as the wage gap between the two countries, while still huge, has been narrowing. If cheap Chinese labor was stealing American jobs, why did the theft intensify as the wage gap fell? The answer, of course, is that Chinese productivity was growing at enormous rates. The remarkable upward march of Chinese productivity both raised Chinese wages relative to American wages and turned China into a world competitor. To think that we can forestall the inevitable by closing our borders is to participate in a cruel self-deception. Nor should there be any worry about failing to forestall the inevitable. The fact that another country becomes wealthier does not mean that Americans must become poorer.
Americans should appreciate the benefits of free trade more than most people, for we inhabit the greatest free-trade zone in the world. Michigan manufactures cars; New York provides banking; Texas pumps oil and gas. The fifty states trade freely with one another, and that helps them all enjoy great prosperity. Indeed, one reason why the United States did so much better economically than Europe for more than two centuries is that America had free movement of goods and services while the European countries “protected” themselves from their neighbors. To appreciate the magnitudes involved, try to imagine how much your personal standard of living would suffer if you were not allowed to buy any goods or services that originated outside your home state.
A slogan occasionally seen on bumper stickers argues, “Buy American, save your job.” This is grossly misleading for two main reasons. First, the costs of SAVING jobs in this particular way are enormous. Second, it is doubtful that any jobs are actually saved in the long run.
Many estimates have been made of the cost of “saving jobs” by PROTECTIONISM. While the estimates differ widely across industries, they are almost always much larger than the wages of the protected workers. For example, one study in the early 1990s estimated that U.S. consumers paid $1,285,000 annually for each job in the luggage industry that was preserved by barriers to imports, a sum that greatly exceeded the average earnings of a luggage worker. That same study estimated that restricting foreign imports cost $199,000 annually for each textile worker’s job that was saved, $1,044,000 for each softwood lumber job saved, and $1,376,000 for every job saved in the benzenoid chemical industry. Yes, $1,376,000 a year!
While Americans may be willing to pay a price to save jobs, spending such enormous sums is plainly irrational. If you doubt that, imagine making the following offer to any benzenoid chemical worker who lost his job to foreign competition: we will give you severance pay of $1,376,000—not annually, but just once—in return for a promise never to seek work in the industry again. Can you imagine any worker turning down the offer? Is that not sufficient evidence that our present method of saving jobs is mad?
But the situation is actually worse, for a little deeper thought leads us to question whether any jobs are really saved overall. It is more likely that protectionist policies save some jobs by jeopardizing others. Why? First, protecting one American industry from foreign competition imposes higher costs on others. For example, quotas on imports of semiconductors sent the prices of memory chips skyrocketing in the 1980s, thereby damaging the computer industry. Steel quotas force U.S. automakers to pay more for materials, making them less competitive.
Second, efforts to protect favored industries from foreign competition may induce reciprocal actions in other countries, thereby limiting American access to foreign markets. In that case, export industries pay the price for protecting import-competing industries.
Third, there are the little-understood, but terribly important, effects of trade barriers on the value of the dollar. If we successfully restrict imports, Americans will spend less on foreign goods. With fewer dollars offered for sale on the world’s currency markets, the value of the dollar will rise relative to that of other currencies. At that point unprotected industries will start to suffer because a higher dollar makes U.S. goods less competitive in world markets. Once again, America’s ability to export is harmed.
On balance the conclusion seems clear and compelling: while protectionism is sold as job saving, it probably really amounts to job swapping. It protects jobs in some industries only by destroying jobs in others.
________________________________________
About the Author
Alan S. Blinder is the Gordon S. Rentschler Memorial Professor of Economics at Princeton University. He wrote, from 1985 to 1992, a regular economics column for Business Week and is the coauthor of one of the best-selling textbooks on economics. He has served as vice chairman of the Federal Reserve’s Board of Governors and as a member of President Bill Clinton’s Council of Economic Advisers.
________________________________________
Further Reading
Baldwin, Robert E. The Political Economy of U.S. Import Policy. Cambridge: MIT Press, 1985.
Bhagwati, Jagdish. In Defense of Globalization. Oxford: Oxford University Press, 2004.
Blinder, Alan S. Hard Heads, Soft Hearts: Tough-Minded Economics for a Just Society. Reading, Mass.: Addison-Wesley, 1987.
Destler, I. M. American Trade Politics. 4th ed. Washington, D.C.: Institute for International Economics, 2005.
Dixit, Avinash. “How Should the U.S. Respond to Other Countries’ Trade Policies?” In Robert M. Stern, ed., U.S. Trade Policies in a Changing World Economy. Cambridge: MIT Press, 1987.
Hufbauer, Gary C., and Kimberly A. Elliott. Measuring the Costs of Protection in the United States. Washington, D.C.: Institute for International Economics, 1994.
Irwin, Douglas A. Free Trade Under Fire. 2d ed. Princeton: Princeton University Press, 2005.
Lawrence, Robert Z., and Robert E. Litan. Saving Free Trade. Washington, D.C.: Brookings Institution, 1986.

20 September 2010

Free Market

1 comments
by Murray N. Rothbard
”Free market” is a summary term for an array of exchanges that take place in society. Each exchange is undertaken as a voluntary agreement between two people or between groups of people represented by agents. These two individuals (or agents) exchange two economic goods, either tangible commodities or nontangible services. Thus, when I buy a newspaper from a newsdealer for fifty cents, the newsdealer and I exchange two commodities: I give up fifty cents, and the newsdealer gives up the newspaper. Or if I work for a corporation, I exchange my labor services, in a mutually agreed way, for a monetary salary; here the corporation is represented by a manager (an agent) with the authority to hire.

Both parties undertake the exchange because each expects to gain from it. Also, each will repeat the exchange next time (or refuse to) because his expectation has proved correct (or incorrect) in the recent past. Trade, or exchange, is engaged in precisely because both parties benefit; if they did not expect to gain, they would not agree to the exchange.
This simple reasoning refutes the argument against FREE TRADE typical of the “mercantilist” period of sixteenth- to eighteenth-century Europe and classically expounded by the famed sixteenth-century French essayist Montaigne. The mercantilists argued that in any trade, one party can benefit only at the expense of the other—that in every transaction there is a winner and a loser, an “exploiter” and an “exploited.” We can immediately see the fallacy in this still-popular viewpoint: the willingness and even eagerness to trade means that both parties benefit. In modern game-theory jargon, trade is a win-win situation, a “positive-sum” rather than a “zero-sum” or “negative-sum” game.
How can both parties benefit from an exchange? Each one values the two goods or services differently, and these differences set the scene for an exchange. I, for example, am walking along with money in my pocket but no newspaper; the newsdealer, on the other hand, has plenty of newspapers but is anxious to acquire money. And so, finding each other, we strike a deal.
Two factors determine the terms of any agreement: how much each participant values each good in question, and each participant’s bargaining skills. How many cents will exchange for one newspaper, or how many Mickey Mantle baseball cards will swap for a Babe Ruth, depends on all the participants in the newspaper market or the baseball card market—on how much each one values the cards as compared with the other goods he could buy. These terms of exchange, called “prices” (of newspapers in terms of money, or of Babe Ruth cards in terms of Mickey Mantles), are ultimately determined by how many newspapers, or baseball cards, are available on the market in relation to how favorably buyers evaluate these goods—in shorthand, by the interaction of their SUPPLY with the DEMAND for them.
Given the supply of a good, an increase in its value in the minds of the buyers will raise the demand for the good, more money will be bid for it, and its price will rise. The reverse occurs if the value, and therefore the demand, for the good falls. On the other hand, given the buyers’ evaluation, or demand, for a good, if the supply increases, each unit of supply—each baseball card or loaf of bread—will fall in value, and therefore the price of the good will fall. The reverse occurs if the supply of the good decreases.
The market, then, is not simply an array; it is a highly complex, interacting latticework of exchanges. In primitive societies, exchanges are all barter or direct exchange. Two people trade two directly useful goods, such as horses for cows or Mickey Mantles for Babe Ruths. But as a society develops, a step-by-step process of mutual benefit creates a situation in which one or two broadly useful and valuable commodities are chosen on the market as a medium of indirect exchange. This money-commodity, generally but not always gold or silver, is then demanded not only for its own sake, but even more to facilitate a reexchange for another desired commodity. It is much easier to pay steelworkers not in steel bars but in money, with which the workers can then buy whatever they desire. They are willing to accept money because they know from experience and insight that everyone else in the society will also accept that money in payment.
The modern, almost infinite latticework of exchanges, the market, is made possible by the use of money. Each person engages in specialization, or a division of labor, producing what he or she is best at. Production begins with NATURAL RESOURCES, and then various forms of machines and capital goods, until finally, goods are sold to the consumer. At each stage of production from natural resource to consumer good, money is voluntarily exchanged for capital goods, labor services, and land resources. At each step of the way, terms of exchanges, or prices, are determined by the voluntary interactions of suppliers and demanders. This market is “free” because choices, at each step, are made freely and voluntarily.
The free market and the free price system make goods from around the world available to consumers. The free market also gives the largest possible scope to entrepreneurs, who risk capital to allocate resources so as to satisfy the future desires of the mass of consumers as efficiently as possible. SAVING and INVESTMENT can then develop capital goods and increase the PRODUCTIVITY and wages of workers, thereby increasing their standard of living. The free competitive market also rewards and stimulates technological INNOVATION that allows the innovator to get a head start in satisfying consumer wants in new and creative ways.
Not only is investment encouraged, but perhaps more important, the price system, and the profit-and-loss incentives of the market, guide capital investment and production into the proper paths. The intricate latticework can mesh and “clear” all markets so that there are no sudden, unforeseen, and inexplicable shortages and surpluses anywhere in the production system.
But exchanges are not necessarily free. Many are coerced. If a robber threatens you with, “Your money or your life,” your payment to him is coerced and not voluntary, and he benefits at your expense. It is robbery, not free markets, that actually follows the mercantilist model: the robber benefits at the expense of the coerced. Exploitation occurs not in the free market, but where the coercer exploits his victim. In the long run, coercion is a negative-sum game that leads to reduced production, saving, and investment; a depleted stock of capital; and reduced productivity and living standards for all, perhaps even for the coercers themselves.
Government, in every society, is the only lawful system of coercion. TAXATION is a coerced exchange, and the heavier the burden of taxation on production, the more likely it is that ECONOMIC GROWTH will falter and decline. Other forms of government coercion (e.g., PRICE CONTROLS or restrictions that prevent new competitors from entering a market) hamper and cripple market exchanges, while others (prohibitions on deceptive practices, enforcement of contracts) can facilitate voluntary exchanges.
The ultimate in government coercion is SOCIALISM. Under socialist central planning the socialist planning board lacks a price system for land or capital goods. As even socialists like Robert Heilbroner now admit (see SOCIALISM), the socialist planning board therefore has no way to calculate prices or costs or to invest capital so that the latticework of production meshes and clears. The experience of the former Soviet Union, where a bumper wheat harvest somehow could not find its way to retail stores, is an instructive example of the impossibility of operating a complex, modern economy in the absence of a free market. There was neither incentive nor means of calculating prices and costs for hopper cars to get to the wheat, for the flour mills to receive and process it, and so on down through the large number of stages needed to reach the ultimate consumer in Moscow or Sverdlovsk. The investment in wheat was almost totally wasted.
Market socialism is, in fact, a contradiction in terms. The fashionable discussion of market socialism often overlooks one crucial aspect of the market: When two goods are exchanged, what is really exchanged is the property titles in those goods. When I buy a newspaper for fifty cents, the seller and I are exchanging property titles: I yield the ownership of the fifty cents and grant it to the newsdealer, and he yields the ownership of the newspaper to me. The exact same process occurs as in buying a house, except that in the case of the newspaper, matters are much more informal and we can avoid the intricate process of deeds, notarized contracts, agents, attorneys, mortgage brokers, and so on. But the economic nature of the two transactions remains the same.
This means that the key to the existence and flourishing of the free market is a society in which the rights and titles of private property are respected, defended, and kept secure. The key to socialism, on the other hand, is government ownership of the means of production, land, and capital goods. Under socialism, therefore, there can be no market in land or capital goods worthy of the name.
Some critics of the free market argue that PROPERTY RIGHTS are in conflict with “human” rights. But the critics fail to realize that in a free-market system, every person has a property right over his own person and his own labor and can make free contracts for those services. Slavery violates the basic property right of the slave over his own body and person, a right that is the groundwork for any person’s property rights over nonhuman material objects. What is more, all rights are human rights, whether it is everyone’s right to free speech or one individual’s property rights in his own home.
A common charge against the free-market society is that it institutes “the law of the jungle,” of “dog eat dog,” that it spurns human cooperation for COMPETITION and exalts material success as opposed to spiritual values, philosophy, or leisure activities. On the contrary, the jungle is precisely a society of coercion, theft, and parasitism, a society that demolishes lives and living standards. The peaceful market competition of producers and suppliers is a profoundly cooperative process in which everyone benefits and where everyone’s living standard flourishes (compared with what it would be in an unfree society). And the undoubted material success of free societies provides the general affluence that permits us to enjoy an enormous amount of leisure as compared with other societies, and to pursue matters of the spirit. It is the coercive countries with little or no market activity—the notable examples in the last half of the twentieth century were the communist countries—where the grind of daily existence not only impoverishes people materially but also deadens their spirit.
________________________________________
About the Author
Murray N. Rothbard, who died in 1995, was the S. J. Hall Distinguished Professor of Economics at the University of Nevada in Las Vegas. He was also the leading Austrian economist of the last half of the twentieth century. This article was edited slightly to reflect the demise of various communist countries.
________________________________________
Further Reading
Ballve, Faustino. Essentials of Economics. Irvington-on-Hudson: Foundation for Economic Education, 1963.
Hazlitt, Henry. Economics in One Lesson. 1946. San Francisco: Fox and Wilkes, 1996.
Mises, Ludwig von. Economic Freedom and Intervention. Edited by Bettina Greaves. Irvington-on-Hudson: Foundation for Economic Education, 1990.
Rockwell, Llewellyn Jr., ed. The Economics of Liberty. Auburn, Ala.: Ludwig von Mises Institute, 1990.
Rockwell, Llewellyn Jr., ed. The Free Market Reader. Auburn, Ala.: Ludwig von Mises Institute, 1988.
Rothbard, Murray N. Power and Market: Government and the Economy. 2d ed. Kansas City: Sheed, Andrews and Mcmeel, 1977.
Rothbard, Murray N. What Has Government Done to Our Money? 4th ed. Auburn, Ala.: Ludwig von Mises Institute, 1990.

16 September 2010

Jalan Yang Lurus

1 comments

Segala puji bagi Allah yang telah menunjukkan jalan yang lurus dan mengangkat hamba terkasih-Nya sebagai pemandu menuju-Nya. Salawat dan salam semoga tercurah kepada Muhammad sebaik-baik nabi dan utusan, dan juga bagi para sahabat serta pengikutnya yang setia hingga akhir zaman. Amma ba’du.

Ayat-ayat al-Qur’an yang begitu indah dan menakjubkan, memberikan kepada kita gambaran yang jelas mengenai karakter dan hakekat jalan yang lurus. Jalan yang setiap hari kita mohon kepada Allah untuk ditunjuki kepadanya. Jalan yang akan mengantarkan penempuhnya menuju surga dan kebahagiaan, serta melemparkan orang yang melenceng darinya menuju neraka dan kesengsaraan.
Memadukan antara ilmu dan amal

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Yaitu jalannya orang-orang yang Engkau beri nikmat atas mereka, bukan jalan orang-orang yang dimurkai dan bukan pula jalan orang-orang yang tersesat.” (QS. al-Fatihah: 7).

Syaikh as-Sa’di rahimahullah menerangkan bahwa hakekat jalan yang lurus itu akan diperoleh dengan cara mengenali kebenaran dan mengamalkannya (lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 39). Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, “Dengan ucapan anda ‘Ihdinash shirathal mustaqim’ itu artinya anda telah meminta kepada Allah ta’ala ilmu yang bermanfaat dan amal yang saleh.” (Tafsir Juz ‘Amma, hal. 12).

Syaikh Abdurrazzaq al-Badr hafizhahullah berkata, “Maka orang yang diberi nikmat atas mereka yaitu orang yang berilmu sekaligus beramal. Adapun orang-orang yang dimurkai yaitu orang-orang yang berilmu namun tidak beramal. Sedangkan orang-orang yang tersesat ialah orang-orang yang beramal tanpa landasan ilmu.” (Tsamrat al-’Ilmi al-’Amalu, hal. 14). Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan bahwa penyebab orang terjerumus dalam kesesatan ialah rusaknya ilmu dan keyakinan. Sedangkan penyebab orang terjerumus dalam kemurkaan ialah rusaknya niat dan amalan (lihat al-Fawa’id, hal. 21)

Memadukan antara tauhid dan ketaatan

Allah ta’ala berfirman memberitakan ucapan Nabi ‘Isa ‘alaihis salam (yang artinya), “Maka bertakwalah kalian kepada Allah dan taatilah aku. Sesungguhnya Allah adalah Rabbku dan Rabb kalian, maka sembahlah Dia. Inilah jalan yang lurus.” (QS. Ali Imran: 50-51, lihat juga QS. Az-Zukhruf: 63-64).

Syaikh as-Sa’di rahimahullah berkata, “Inilah, yaitu penyembahan kepada Allah, ketakwaan kepada-Nya, serta ketaatan kepada rasul-Nya merupakan ‘jalan lurus’ yang mengantarkan kepada Allah dan menuju surga-Nya, adapun yang selain jalan itu maka itu adalah jalan-jalan yang menjerumuskan ke neraka.” (Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 132). Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “…Sesungguhnya kebenaran itu hanya satu, yaitu jalan Allah yang lurus, tiada jalan yang mengantarkan kepada-Nya selain jalan itu. Yaitu beribadah kepada Allah tanpa mempersekutukan-Nya dengan apapun, dengan cara menjalankan syari’at yang ditetapkan-Nya melalui lisan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, bukan dengan [landasan] hawa nafsu maupun bid’ah-bid’ah…” (at-Tafsir al-Qayyim, hal. 116-117)

Dalam surat Maryam, Allah ta’ala juga memberitakan ucapan Isa ‘alaihis salam tersebut (yang artinya), “Dan sesungguhnya Allah adalah Rabbku dan Rabb kalian, maka sembahlah Dia. Inilah jalan yang lurus.” (QS. Maryam: 36).

Syaikh as-Sa’di rahimahullah menerangkan, bahwa makna ‘sembahlah Dia’ adalah: ikhlaskan ibadah kepada-Nya, bersungguh-sungguhlah dalam inabah (taubat dan semakin taat) kepada-Nya. Di dalam ungkapan ‘Sesungguhnya Allah adalah Rabbku dan Rabb kalian maka sembahlah Dia’ terkandung penetapan tauhid rububiyah dan tauhid uluhiyah, serta berargumentasi dengan tauhid yang pertama (rububiyah) untuk mewajibkan tauhid yang kedua (uluhiyah) (lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 493)

Bahkan, Allah sendiri telah menegaskan bahwa tauhid dan ketaatan kepada-Nya inilah jalan yang lurus itu, bukan penyembahan dan ketaatan kepada syaitan. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Bukankah Aku telah berpesan kepada kalian, wahai keturunan Adam; Janganlah kalian menyembah syaitan. Sesungguhnya dia adalah musuh yang nyata bagi kalian. Dan sembahlah Aku. Inilah jalan yang lurus.” (QS. Yasin: 60-61). Syaikh as-Sa’di rahimahullah menerangkan, bahwa yang dimaksud ‘mentaati syaitan’ itu mencakup segala bentuk kekafiran dan kemaksiatan. Adapun jalan yang lurus itu adalah beribadah kepada Allah, taat kepada-Nya, dan mendurhakai syaitan (lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 698)

Perlu diingat, bahwa ketaatan kepada Rasul pada hakekatnya merupakan ketaatan kepada Allah, tidak bisa dipisahkan satu dengan yang lainnya. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang taat kepada rasul itu, sesungguhnya dia telah taat kepada Allah.” (QS. an-Nisaa’: 80). Ayat ini menunjukkan bahwa semua orang yang taat kepada Rasulullah dalam hal perintah dan larangannya sesungguhnya telah taat kepada Allah ta’ala. Karena rasul tidaklah memerintah dan melarang kecuali dengan perintah dari Allah, dengan syari’at dan wahyu dari-Nya. Sehingga hal ini menunjukkan ‘ishmah/keterpeliharaan diri Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena Allah memerintahkan taat kepada beliau secara mutlak (lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 189)

Kata Kunci

Dari pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa ada empat kata kunci agar seorang hamba bisa berjalan di atas jalan yang lurus, yaitu:

1. Ilmu, karena dengan ilmu ini maka dia akan bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah, mana tauhid mana syirik, mana sunnah mana bid’ah, mana taat mana maksiat, dst.
2. Amal, karena dengan mengamalkan ilmunya dia akan terbebas dari kemurkaan Allah, bahkan dia akan mendapatkan tambahan petunjuk karenanya. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Orang-orang yang mengikuti petunjuk itu, maka Allah akan menambahkan kepada mereka petunjuk dan Allah berikan kepada mereka ketakwaan mereka.” (QS. Muhammad: 17). Di dalam ayat yang mulia ini Allah menjanjikan dua balasan bagi orang yang mengikuti petunjuk (baca: mengamalkan ilmunya), yaitu: ilmu yang bermanfaat dan amal yang saleh (lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 787)
3. Tauhid, karena dengan memahami dan melaksanakan tauhid maka seorang hamba telah mewujudkan tujuan hidupnya dan berada di atas jalan yang akan mengantarkannya ke surga, jika dia istiqomah di atasnya hingga ajal tiba.
4. Taat, karena dengan menjalankan perintah dan menjauhi larangan berarti dia telah menunjukkan penghambaannya kepada Allah dan kepatuhannya kepada Rasulullah, sehingga dia akan mendapatkan keberuntungan -di dunia maupun di akherat- sebagaimana yang dijanjikan oleh Allah kepada hamba-hamba-Nya yang taat kepada-Nya. Allahu a’lam

14 September 2010

Tiga Pokok Kebahagiaan

0 comments

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,

“Ada tiga pokok yang menjadi pondasi kebahagiaan seorang hamba, dan masing-masingnya memiliki lawan. Barangsiapa yang kehilangan pokok tersebut maka dia akan terjerumus ke dalam lawannya. [1] Tauhid, lawannya syirik. [2] Sunnah, lawannya bid’ah. Dan [3] ketaatan, lawannya adalah maksiat. Sedangkan ketiga hal ini memiliki satu musuh yang sama yaitu kekosongan hati dari rasa harap di jalan [ketaatan kepada] Allah dan keinginan untuk mencapai balasan yang ada di sisi-Nya serta ketiadaan rasa takut terhadap-Nya dan hukuman yang dijanjikan di sisi-Nya.” (al-Fawa’id, hal. 104)
Tauhid Mengantarkan Menuju Bahagia

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuri iman mereka dengan kezaliman/syirik, mereka itulah yang akan mendapatkan keamanan dan mereka itulah orang-orang yang diberikan petunjuk.” (QS. al-An’aam: 82). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah mengharamkan neraka atas orang yang mengucapkan la ilaha illallah dengan ikhlas mengharapkan wajah Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim). Abdullah Ibnu Mubarak rahimahullah berkata, “Betapa banyak amalan kecil menjadi besar karena niat (yang ikhlas), dan betapa banyak amalan besar menjadi kecil karena niat (yang tidak ikhlas).”

Syirik Mengantarkan Menuju Sengsara

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya barangsiapa yang mempersekutukan Allah maka sungguh Allah haramkan atasnya surga dan tempat tinggalnya adalah neraka, dan tiada seorang penolongpun bagi orang-orang yang zalim itu.” (QS. al-Maa’idah: 72). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang berjumpa dengan Allah dalam keadaan mempersekutukan Allah dengan sesuatu apapun maka dia pasti masuk neraka.” (HR. Muslim).

Sunnah Mengantarkan Menuju Bahagia

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Katakanlah (Muhammad); Jika kalian mencintai Allah, maka ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintai kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian.” (QS. Ali Imran: 31). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Islam itu datang dalam keadaan asing dan akan kembali menjadi asing sebagaimana datangnya, maka beruntunglah orang-orang yang asing.” (HR. Muslim). Imam Malik rahimahullah berkata, “Sunnah adalah [laksana] bahtera Nabi Nuh, barangsiapa yang menaikinya akan selamat, dan barangsiapa yang tertinggal akan tenggelam.”

Bid’ah Mengantarkan Menuju Sengsara

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang menentang rasul setelah jelas baginya petunjuk dan dia justru mengikuti selain jalan orang-orang beriman, niscaya akan Kami biarkan dia terombang-ambing dalam kesesatannya dan Kami pun akan memasukkannya ke dalam Jahannam, dan sesungguhnya Jahannam itu adalah seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. an-Nisaa’: 115). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sejelek-jelek urusan adalah yang diada-adakan -dalam agama-, [dan setiap yang diada-adakan itu adalah bid'ah] dan setiap bid’ah pasti sesat [dan setiap kesesatan di neraka].” (HR. Muslim, tambahan dalam kurung dalam riwayat Nasa’i)

Ketaatan Mengantarkan Menuju Bahagia

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang taat kepada Allah dan rasul-Nya sungguh dia akan mendapatkan keberuntungan yang sangat besar.” (QS. al-Ahzab: 71). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Semua umatku pasti masuk surga, kecuali yang enggan.” Para sahabat pun bertanya, “Siapakah orang yang enggan itu wahai Rasulullah?”. Beliau menjawab, “Barangsiapa mentaatiku masuk surga dan barangsiapa yang mendurhakaiku maka dialah orang yang enggan itu.” (HR. Bukhari). Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma berkata, “Allah menjamin bagi siapa saja yang membaca al-Qur’an dan mengamalkan ajaran yang ada di dalamnya bahwa dia tidak akan sesat di dunia dan tidak akan celaka di akherat.”

Kemaksiatan Mengantarkan Menuju Sengsara

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang durhaka kepada Allah dan rasul-Nya sungguh dia telah tersesat dengan kesesatan yang amat nyata.” (QS. al-Ahzab: 36). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Surga diliputi dengan perkara-perkara yang tidak disenangi nafsu (ketaatan) sedangkan neraka diliputi dengan perkara-perkara yang disenangi nafsu (kemaksiatan).” (HR. Bukhari dan Muslim)

Hilangnya Harapan dan Rasa Takut

Sementara ketiga hal di atas -tauhid, sunnah, dan ketaatan- memiliki satu musuh yang sama yaitu ketiadaan rasa harap dan rasa takut. Yaitu ketika seorang hamba tidak lagi menaruh harapan atas apa yang Allah janjikan dan tidak menyimpan rasa takut terhadap ancaman yang Allah berikan. Akibat ketiadaan harap dan takut ini maka timbul berbagai dampak yang membahayakan. Di antara dampaknya adalah; [1] terlena dengan curahan nikmat sehingga lalai dari mensyukurinya, [2] sibuk mengumpulkan ilmu namun lalai dari mengamalkannya, [3] cepat terseret dalam dosa namun lambat dalam bertaubat, [4] terlena dengan persahabatan dengan orang-orang saleh namun lalai dari meneladani mereka, [5] dunia pergi meninggalkan mereka namun mereka justru senantiasa mengejarnya, [6] akherat datang menghampiri mereka namun mereka justru tidak bersiap-siap untuk menyambutnya. Ibnul Qayyim rahimahullah menerangkan bahwa ketiadaan rasa harap dan takut ini bersumber dari lemahnya keyakinan. Lemahnya keyakinan itu timbul akibat lemahnya bashirah/pemahaman. Dan lemahnya bashirah itu sendiri timbul karena jiwa yang kerdil dan rendah (lihat al-Fawa’id, hal. 170).

Bersihkan Jiwamu!

Jiwa yang kerdil dan rendah akan merasa puas dengan perkara-perkara yang hina, sementara jiwa yang besar dan mulia tentu hanya akan puas dengan perkara-perkara yang mulia (lihat al-Fawa’id, hal. 170). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sungguh berbahagia orang yang menyucikan jiwanya dan sungguh merugi orang yang mengotorinya.” (QS. asy-Syams: 9-10). Syaikh as-Sa’di rahimahullah berkata, “Yaitu orang yang menyucikan jiwanya dari dosa-dosa dan membersihkannya dari aib-aib, lalu dia meninggikannnya dengan ketaatan kepada Allah serta memuliakannya dengan ilmu yang bermanfaat dan amal saleh.” (Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 926). Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, “Yang dimaksud penyucian di sini ialah dia menyucikan dirinya dengan cara membebaskannya dari syirik dan noda-noda maksiat, sehingga jiwanya menjadi suci dan bersih.” (Tafsir Juz ‘Amma, hal. 165)

Dari sinilah, kita menyadari betapa besar peran ilmu yang diamalkan. Oleh sebab itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan kepada kita untuk senantiasa berdoa seusai sholat Subuh dengan doa yang sangat indah, Allahumma inni as’aluka ‘ilman nafi’an wa rizqan thayyiban wa ‘amalan mutaqabbalan. Yang artinya; “Ya Allah, aku memohon kepada-Mu ilmu yang bermanfaat, rezki yang baik, dan amalan yang diterima.” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Barangsiapa yang dikehendaki baik oleh Allah niscaya akan dipahamkan dalam urusan agamanya.” (HR. Bukhari dan Muslim). Sedangkan ilmu dan pemahaman seorang hamba tentang agamanya diukur dengan rasa takutnya kepada Allah. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya yang merasa takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah orang-orang yang berilmu.” (QS. Fathir: 28). Ibnu Mas’ud radhiyallahu’anhu berkata, “Cukuplah rasa takut kepada Allah sebagai bukti ilmu -seseorang-.”

9 September 2010

Sunnahnya sholat Ied di tanah lapang

0 comments
KELUAR MENUJU MUSHALLA
(Tanah Lapang Yang Digunakan Untuk Shalat Ied)


Dari Abu Said Al Khudri Radliallahu 'anhu, ia berkata : (Yang artinya) : “ Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam biasa keluar menuju mushalla (tanah lapang) pada hari Idul Fitri dan Idul Adha, maka pertama kali yang beliau lakukan adalah shalat ..." [Hadits Riwayat Bukhari 956, Muslim 889 dan An-Nasaa'i 3/187]
Berkata Al-Alamah Ibnul Hajj Al Maliki :

"Sunnah yang telah berlangsung dalam pelaksanaan shalat Idul Fitri dan Idul Adha adalah di mushalla (tanah lapang), karena Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
(Yang artinya) : “ Shalat di masjidku ini (masjid Nabawi -pen) lebih utama dari seribu shalat yang dilaksanakan di masjid lainnya kecuali masjid Al-Harram". [Hadits Riwayat Bukhari 1190 dan Muslim 1394]
Kemudian, walaupun ada keutamaan yang besar seperti ini, beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam tetap keluar ke mushalla (tanah lapang) dan meninggalkan masjidnya. [Al-Madkhal 2/283].

Imam Ibnu Qudamah Al-Maqdisi menyatakan, [Al-Mughni 2/229-230] :
"Sunnah untuk melaksanakan shalat Id di tanah lapang, Ali Radliallahu 'anhu memerintahkan yang demikian dan dianggap baik oleh Al-Auza'i dan Ashabur Ra'yi. Inilah ucapan Ibnul Mundzir.” ( Untuk mengetahui dalil-dalil permasalahan ini secara mendetail, disertai bantahan terhadap syubhat orang-orang yang menyelisihi, silakan merujuk pada tulisan Syaikh Ahmad Syakir rahimahullah dalam "Syarhu Sunan Tirmidzi " (2/421-424). Dan Ustadz kami Al-Albani memiliki risalah tersendiri yang berjudul "Shalat Al-Iedain fii Mushalla Kharijal Balad Hiya Sunnah" cetakan Damaskus, silakan melihatnya, karena risalah tersebut sangat berharga.) [ ]

Siapa yang tidak mampu untuk keluar ke tanah lapang karena sakit atau umur tua, boleh shalat di masjid dan tidak ada dosa baginya Insya Allah. [Al-Mughni 2/229-230].

Di sini harus diberikan peringatan bahwa tujuan dari pelaksanaan Shalat Id di tanah lapang adalah agar terkumpul kaum muslimin dalam jumlah yang besar di satu tempat.

Namun yang kita lihat pada hari ini di banyak negeri berbilangannya mushalla (tanah lapang yang digunakan untuk shalat Id) meski tidak ada kebutuhan. Ini merupakan perkara makruh yang telah diperingatkan oleh ulama. [Lihat Nihayah Al Muhtaj 2/375 oleh Ar-Ramli].

Bahkan sebagian mushalla telah menjadi mimbar-mimbar hizbiyyah untuk memecah belah persatuan kaum muslimin.

Tiada daya upaya kecuali dengan pertolongan Allah.

(Dikutip dari Ahkaamu Al' Iidaini Fii Al-Sunnah Al-Muthahharah, edisi Indonesia Hari Raya Bersama Rasulullah, oleh Syaikh Ali bin Hasan bin Ali Abdul Hamid Al-Halabi Al-Atsari, Pustaka Al-Haura', penerjemah Ummu Ishaq Zulfa Hussein)

Meneladani Rasulullah dalam Ber'idul Fithri

0 comments
Idul Fitri bisa memiliki banyak makna bagi tiap-tiap orang. Ada yang memaknai Idul Fitri sebagai hari yang menyenangkan karena tersedianya banyak makanan enak, baju baru, banyaknya hadiah, dan lainnya. Ada lagi yang memaknai Idul Fitri sebagai saat yang paling tepat untuk pulang kampung dan berkumpul bersama handai tolan. Sebagian lagi rela melakukan perjalanan yang cukup jauh untuk mengunjungi tempat-tempat wisata, dan berbagai aktivitas lain yang bisa kita saksikan. Namun barangkali hanya sedikit yang mau untuk memaknai Idul Fitri sebagaimana Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam “memaknainya”.
dul Fitri memang hari istimewa. Secara syar’i pun dijelaskan bahwa Idul Fitri merupakan salah satu hari besar umat Islam selain Hari Raya Idul Adha. Karenanya, agama ini membolehkan umatnya untuk mengungkapkan perasaan bahagia dan bersenang-senang pada hari itu.

Sebagai bagian dari ritual agama, prosesi perayaan Idul Fitri sebenarnya tak bisa lepas dari aturan syariat. Ia harus didudukkan sebagaimana keinginan syariat.

Bagaimana masyarakat kita selama ini menjalani perayaan Idul Fitri yang datang menjumpai? Secara lahir, kita menyaksikan perayaan Hari Raya Idul Fitri masih sebatas sebagai rutinitas tahunan yang memakan biaya besar dan juga melelahkan. Kita sepertinya belum menemukan esensi yang sebenarnya dari Hari Raya Idul Fitri sebagaimana yang dimaukan syariat.

Bila Ramadhan sudah berjalan 3 minggu atau sepekan lagi ibadah puasa usai, “aroma” Idul Fitri seolah mulai tercium. Ibu-ibu pun sibuk menyusun menu makanan dan kue-kue, baju-baju baru ramai diburu, transportasi mulai padat karena banyak yang bepergian atau karena arus mudik mulai meningkat, serta berbagai aktivitas lainya. Semua itu seolah sudah menjadi aktivitas “wajib” menjelang Idul Fitri, belum ada tanda-tanda menurun atau berkurang.
Untuk mengerjakan sebuah amal ibadah, bekal ilmu syar’i memang mutlak diperlukan. Bila tidak, ibadah hanya dikerjakan berdasar apa yang dia lihat dari para orang tua. Tak ayal, bentuk amalannya pun menjadi demikian jauh dari yang dimaukan syariat.
Demikian pula dengan Idul Fitri. Bila kita paham bagaimana bimbingan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam masalah ini, tentu berbagai aktivitas yang selama ini kita saksikan bisa diminimalkan. Beridul Fitri tidak harus menyiapkan makanan enak dalam jumlah banyak, tidak harus beli baju baru karena baju yang bersih dan dalam kondisi baik pun sudah mencukupi, tidak harus mudik karena bersilaturahim dengan para saudara yang sebenarnya bisa dilakukan kapan saja, dan sebagainya. Dengan tahu bimbingan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, beridul Fitri tidak lagi butuh biaya besar dan semuanya terasa lebih mudah.
Berikut ini sedikit penjelasan tentang bimbingan syariat dalam beridul Fitri.

Definisi Ied (Hari Raya)
Ibnu A’rabi mengatakan: “Id1 dinamakan demikian karena setiap tahun terulang dengan kebahagiaan yang baru.” (Al-Lisan hal. 5)
Ibnu Taimiyyah berkata: “Id adalah sebutan untuk sesuatu yang selalu terulang berupa perkumpulan yang bersifat massal, baik tahunan, mingguan atau bulanan.” (dinukil dari Fathul Majid hal. 289 tahqiq Al-Furayyan)
Id dalam Islam adalah Idul Fitri, Idul Adha dan Hari Jum’at.

عَنْ أَنَسٍ قَالَ: قَدِمَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِيْنَةَ وَلَهُمْ يَوْمَانِ يَلْعَبُوْنَ فِيْهِمَا، فَقَالَ: مَا هَذَانِ الْيَوْمَانِ؟ قَالُوا: كُنَّا نَلْعَبُ فِيْهِمَا فِي الْجَاهِلِيَّةِ. فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّ اللهَ قَدْ أَبْدَلَكُمْ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا، يَوْمَ اْلأَضْحَى وَيَوْمَ الْفِطْرِ

Dari Anas bin Malik ia berkata: Rasulullah datang ke Madinah dalam keadaan orang-orang Madinah mempunyai 2 hari (raya) yang mereka bermain-main padanya. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata: “Apa (yang kalian lakukan) dengan 2 hari itu?” Mereka menjawab: “Kami bermain-main padanya waktu kami masih jahiliyyah.” Maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya Allah telah menggantikannya untuk kalian dengan yang lebih baik dari keduanya, yaitu Idul Adha dan Idul Fitri.” (Shahih, HR. Abu Dawud no. 1004, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani)

Hukum Shalat Ied
Ibnu Rajab berkata: “Para ulama berbeda pendapat tentang hukum Shalat Id menjadi 3 pendapat:
Pertama: Shalat Id merupakan amalan Sunnah (ajaran Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam) yang dianjurkan, seandainya orang-orang meninggalkannya maka tidak berdosa. Ini adalah pendapat Al-Imam Ats-Tsauri dan salah satu riwayat dari Al-Imam Ahmad.
Kedua: Bahwa itu adalah fardhu kifayah, sehingga jika penduduk suatu negeri sepakat untuk tidak melakukannya berarti mereka semua berdosa dan mesti diperangi karena meninggalkannya. Ini yang tampak dari madzhab Al-Imam Ahmad dan pendapat sekelompok orang dari madzhab Hanafi dan Syafi’i.
Ketiga: Wajib ‘ain (atas setiap orang) seperti halnya Shalat Jum’at. Ini pendapat Abu Hanifah dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad.
Al-Imam Asy-Syafi’I mengatakan dalam Mukhtashar Al-Muzani: “Barangsiapa memiliki kewajiban untuk mengerjakan Shalat Jum’at, wajib baginya untuk menghadiri shalat 2 hari raya. Dan ini tegas bahwa hal itu wajib ‘ain.” (Diringkas dari Fathul Bari Ibnu Rajab, 6/75-76)
Yang terkuat dari pendapat yang ada –wallahu a’lam– adalah pendapat ketiga dengan dalil berikut:

عَنْ أُمِّ عَطِيَّةَ قَالَتْ: أَمَرَنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ نُخْرِجَهُنَّ فِي الْفِطْرِ وَاْلأَضْحَى الْعَوَاتِقَ وَالْحُيَّضَ وَذَوَاتِ الْخُدُوْرِ، فَأَمَّا الْحُيَّضُ فَيَعْتَزِلْنَ الصَّلاَةَ وَيَشْهَدْنَ الْخَيْرَ وَدَعْوَةَ الْمُسْلِمِيْنَ. قُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، إِحْدَانَا لاَ يَكُوْنُ لَهَا جِلْبَابٌ؟ قَالَ: لِتُلْبِسْهَا أُخْتُهَا مِنْ جِلْبَابِهَا

Dari Ummu ‘Athiyyah ia mengatakan: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan kami untuk mengajak keluar (kaum wanita) pada (hari raya) Idul Fitri dan Idul Adha yaitu gadis-gadis, wanita yang haid, dan wanita-wanita yang dipingit. Adapun yang haid maka dia menjauhi tempat shalat dan ikut menyaksikan kebaikan dan dakwah muslimin. Aku berkata: “Wahai Rasulullah, salah seorang dari kami tidak memiliki jilbab?” Nabi menjawab: “Hendaknya saudaranya meminjamkan jilbabnya.” (Shahih, HR. Al-Bukhari dan Muslim, ini lafadz Muslim Kitabul ‘Idain Bab Dzikru Ibahati Khurujinnisa)
Perhatikanlah perintah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk pergi menuju tempat shalat, sampai-sampai yang tidak punya jilbabpun tidak mendapatkan udzur. Bahkan tetap harus keluar dengan dipinjami jilbab oleh yang lain.
Shiddiq Hasan Khan berkata: “Perintah untuk keluar berarti perintah untuk shalat bagi yang tidak punya udzur… Karena keluarnya (ke tempat shalat) merupakan sarana untuk shalat dan wajibnya sarana tersebut berkonsekuensi wajibnya yang diberi sarana (yakni shalat).
Di antara dalil yang menunjukkan wajibnya Shalat Id adalah bahwa Shalat Id menggugurkan Shalat Jum’at bila keduanya bertepatan dalam satu hari. Dan sesuatu yang tidak wajib tidak mungkin menggugurkan suatu kewajiban.” (Ar-Raudhatun Nadiyyah, 1/380 dengan At-Ta’liqat Ar-Radhiyyah. Lihat pula lebih rinci dalam Majmu’ Fatawa, 24/179-186, As-Sailul Jarrar, 1/315, Tamamul Minnah, hal. 344)

Wajibkah Shalat Id Bagi Musafir?
Sebuah pertanyaan telah diajukan kepada Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, yang intinya: Apakah untuk Shalat Id disyaratkan pelakunya seorang yang mukim (tidak sedang bepergian)?
Beliau kemudian menjawab yang intinya: “Ulama berbeda pendapat dalam masalah ini. Ada yang mengatakan, disyaratkan mukim. Ada yang mengatakan, tidak disyaratkan mukim.”
Lalu beliau mengatakan: “Yang benar tanpa keraguan, adalah pendapat yang pertama. Yaitu Shalat Id tidak disyariatkan bagi musafir, karena Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam banyak melakukan safar dan melakukan 3 kali umrah selain umrah haji, beliau juga berhaji wada’ dan ribuan manusia menyertai beliau, serta beliau berperang lebih dari 20 peperangan, namun tidak seorangpun menukilkan bahwa dalam safarnya beliau melakukan Shalat Jum’at dan Shalat Id…” (Majmu’ Fatawa, 24/177-178)

Mandi Sebelum Melakukan Shalat Id

عَنْ مَالِكٍ عَنْ نَافِعٍ أَنَّ عَبْدَ اللهِ بْنَ عُمَرَ كَانَ يَغْتَسِلُ يَوْمَ الْفِطْرِ قَبْلَ أَنْ يَغْدُوَ إِلَى الْمُصَلَّى

“Dari Malik dari Nafi’, ia berkata bahwa Abdullah bin Umar dahulu mandi pada hari Idul Fitri sebelum pergi ke mushalla (lapangan).” (Shahih, HR. Malik dalam Al-Muwaththa` dan Al-Imam Asy-Syafi’i dari jalannya dalam Al-Umm)
Dalam atsar lain dari Zadzan, seseorang bertanya kepada ‘Ali radhiallahu 'anhu tentang mandi, maka ‘Ali berkata: “Mandilah setiap hari jika kamu mau.” Ia menjawab: “Tidak, mandi yang itu benar-benar mandi.” Ali radhiallahu 'anhu berkata: “Hari Jum’at, hari Arafah, hari Idul Adha, dan hari Idul Fitri.” (HR. Al-Baihaqi, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Al-Irwa`, 1-176-177))

Memakai Wewangian
عَنْ مُوْسَى بْنِ عُقْبَةَ عَنْ نَافِعٍ أَنَّ ابْنَ عُمَرَ يَغْتَسِلُ وَيَتَطَيَّبُ يَوْمَ الْفِطْرِ
“Dari Musa bin ‘Uqbah, dari Nafi’ bahwa Ibnu ‘Umar mandi dan memakai wewangian di hari Idul fitri.” (Riwayat Al-Firyabi dan Abdurrazzaq)
Al-Baghawi berkata: “Disunnahkan untuk mandi di hari Id. Diriwayatkan dari Ali bahwa beliau mandi di hari Id, demikian pula yang sejenis itu dari Ibnu Umar dan Salamah bin Akwa’ dan agar memakai pakaian yang paling bagus yang dia dapati serta agar memakai wewangian.” (Syarhus Sunnah, 4/303)

Memakai Pakaian yang Bagus
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ قَالَ: أَخَذَ عُمَرُ جُبَّةً مِنْ إِسْتَبْرَقٍ تُبَاعُ فِي السُّوْقِ فَأَخَذَهَا فَأَتَى بِهَا رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ ابْتَعْ هَذِهِ تَجَمَّلْ بِهَا لِلْعِيْدِ وَالْوُفُوْدِ. فَقَالَ لَهُ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّمَا هَذِهِ لِبَاسُ مَنْ لاَ خَلاَقَ لَهُ
Dari Abdullah bin Umar bahwa Umar mengambil sebuah jubah dari sutera yang dijual di pasar maka dia bawa kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, lalu Umar radhiallahu 'anhu berkata: “Wahai Rasulullah, belilah ini dan berhiaslah dengan pakaian ini untuk hari raya dan menyambut utusan-utusan.” Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pun berkata: “Ini adalah pakaian orang yang tidak akan dapat bagian (di akhirat)….” (Shahih, HR. Al-Bukhari Kitabul Jum’ah Bab Fil ‘Idain wat Tajammul fihi dan Muslim Kitab Libas Waz Zinah)
Ibnu Rajab berkata: “Hadits ini menunjukkan disyariatkannya berhias untuk hari raya dan bahwa ini perkara yang biasa di antara mereka.” (Fathul Bari)

Makan Sebelum Berangkat Shalat Id

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ: كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَ يَغْدُو يَوْمَ الْفِطْرِ حَتَّى يَأْكُلَ تَمَرَاتٍ. وَقَالَ مُرَجَّأُ بْنُ رَجَاءٍ: حَدَّثَنِي عُبَيْدُ اللهِ قَالَ: حَدَّثَنِي أَنَسٌ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَيَأْكُلُهُنَّ وِتْرًا

Dari Anas bin Malik ia berkata: Adalah Rasulullah tidak keluar di hari fitri sebelum beliau makan beberapa kurma. Murajja‘ bin Raja‘ berkata: Abdullah berkata kepadaku, ia mengatakan bahwa Anas berkata kepadanya: “Nabi memakannya dalam jumlah ganjil.” (Shahih, HR Al-Bukhari Kitab Al-’Idain Bab Al-Akl Yaumal ‘Idain Qablal Khuruj)
Ibnu Rajab berkata: “Mayoritas ulama menganggap sunnah untuk makan pada Idul Fitri sebelum keluar menuju tempat Shalat Id, di antara mereka ‘Ali dan Ibnu ‘Abbas radhiallahu 'anhuma.”
Di antara hikmah dalam aturan syariat ini, yang disebutkan oleh para ulama adalah:
a. Menyelisihi Ahlul kitab, yang tidak mau makan pada hari raya mereka sampai mereka pulang.
b. Untuk menampakkan perbedaan dengan Ramadhan.
c. Karena sunnahnya Shalat Idul Fitri lebih siang (dibanding Idul Adha) sehingga makan sebelum shalat lebih menenangkan jiwa. Berbeda dengan Shalat Idul Adha, yang sunnah adalah segera dilaksanakan. (lihat Fathul Bari karya Ibnu Rajab, 6/89)

Bertakbir Ketika Keluar Menuju Tempat Shalat

كَانَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْرُجُ يَوْمَ الْفِطْرِ فَيُكَبِّرُ حَتَّى يَأْتِيَ الْمُصَلَّى وَحَتَّى يَقْضِيَ الصَّلاَةَ، فَإِذَا قَضَى الصَّلاَةَ؛ قَطَعَ التَّكْبِيْرَ
“Adalah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam keluar di Hari Raya Idul Fitri lalu beliau bertakbir sampai datang ke tempat shalat dan sampai selesai shalat. Apabila telah selesai shalat beliau memutus takbir.” (Shahih, Mursal Az-Zuhri, diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dengan syawahidnya dalam Ash-Shahihah no. 171)
Asy-Syaikh Al-Albani berkata: “Dalam hadits ini ada dalil disyariatkannya apa yang diamalkan kaum muslimin yaitu bertakbir dengan keras selama perjalanan menuju tempat shalat walaupun banyak di antara mereka mulai menggampangkan sunnah (ajaran) ini, sehingga hampir-hampir menjadi sekedar berita (apa yang dulu terjadi). Hal itu karena lemahnya mental keagamaan mereka dan karena rasa malu untuk menampilkan sunnah serta terang-terangan dengannya. Dan dalam kesempatan ini, amat baik untuk kita ingatkan bahwa mengeraskan takbir di sini tidak disyariatkan padanya berpadu dalam satu suara sebagaimana dilakukan sebagian manusia2…” (Ash-Shahihah: 1 bagian 1 hal. 331)

Lafadz Takbir
Tentang hal ini tidak terdapat riwayat yang shahih dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam –wallahu a’lam–. Yang ada adalah dari shahabat, dan itu ada beberapa lafadz.
Asy-Syaikh Al-Albani berkata: Telah shahih mengucapkan 2 kali takbir dari shahabat Ibnu Mas’ud radhiallahu 'anhu:
أَنَّهُ كَانَ يُكَبِرُ أَيَّامَ التَّشْرِيْقِ: اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهٌ وَاللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ وَلِلَّهِ الْحَمْدُ

Bahwa beliau bertakbir di hari-hari tasyriq:
اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهٌ وَاللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ وَلِلَّهِ الْحَمْدُ
(HR. Ibnu Abi Syaibah, 2/2/2 dan sanadnya shahih)
Namun Ibnu Abi Syaibah menyebutkan juga di tempat yang lain dengan sanad yang sama dengan takbir tiga kali. Demikian pula diriwayatkan Al-Baihaqi (3/315) dan Yahya bin Sa’id dari Al-Hakam dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas, dengan tiga kali takbir.
Dalam salah satu riwayat Ibnu ‘Abbas disebutkan:
اللهُ أَكْبَرُ كَبِيْرًا اللهُ أَكْبَرُ كَبِيْرًا اللهُ أَكْبَرُ وَأَجَلَّ اللهُ أَكْبَرُ وَلِلَّهِ الْحَمْدُ
(Lihat Irwa`ul Ghalil, 3/125)

Tempat Shalat Id
Banyak ulama menyebutkan bahwa petunjuk Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam shalat dua hari raya adalah beliau selalu melakukannya di mushalla.
Mushalla yang dimaksud adalah tempat shalat berupa tanah lapang dan bukan masjid, sebagaimana dijelaskan sebagian riwayat hadits berikut ini.

عَنِ الْبَرَاءِ قَالَ: خَرَجَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ أَضْحًى إِلَى الْبَقِيْعِ فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ أَقْبَلَ عَلَيْنَا بِوَجْهِهِ وَقَالَ: إِنَّ أَوَّلَ نُسُكِنَا فِي يَوْمِنَا هَذَا أَنْ نَبْدَأَ بِالصَّلاَةِ ثُمَّ نَرْجِعَ فَنَنْحَرَ فَمَنْ فَعَلَ ذَلِكَ فَقَدْ وَافَقَ سُنَّتَنَا

Dari Al-Bara’ Ibnu ‘Azib ia berkata: “Nabi pergi pada hari Idul Adha ke Baqi’ lalu shalat 2 rakaat lalu menghadap kami dengan wajahnya dan mengatakan: ‘Sesungguhnya awal ibadah kita di hari ini adalah dimulai dengan shalat. Lalu kita pulang kemudian menyembelih kurban. Barangsiapa yang sesuai dengan itu berarti telah sesuai dengan sunnah…” (Shahih, HR. Al-Bukhari Kitab Al-’Idain Bab Istiqbalul Imam An-Nas Fi Khuthbatil ‘Id)
Ibnu Rajab berkata: “Dalam hadits ini dijelaskan bahwa keluarnya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan shalatnya adalah di Baqi’, namun bukan yang dimaksud adalah Nabi shalat di kuburan Baqi’. Tapi yang dimaksud adalah bahwa beliau shalat di tempat lapang yang bersambung dengan kuburan Baqi’ dan nama Baqi’ itu meliputi seluruh daerah tersebut. Juga Ibnu Zabalah telah menyebutkan dengan sanadnya bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam shalat Id di luar Madinah sampai di lima tempat, sehingga pada akhirnya shalatnya tetap di tempat yang dikenal (untuk pelaksanaan Id, -pent.). Lalu orang-orang sepeninggal beliau shalat di tempat itu.” (Fathul Bari karya Ibnu Rajab, 6/144)

عَنْ أَبِي سَعِيْدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ: كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْرُجُ يَوْمَ الْفِطْرِ وَاْلأَضْحَى إِلَى الْمُصَلَّى فَأَوَّلُ شَيْءٍ يَبْدَأُ بِهِ الصَّلاَةُ ثُمَّ يَنْصَرِفُ فَيَقُوْمُ مُقَابِلَ النَّاسِ وَالنَّاسُ جُلُوْسٌ عَلَى صُفُوْفِهِمْ فَيَعِظُهُمْ وَيُوْصِيْهِمْ وَيَأْمُرُهُمْ فَإِنْ كَانَ يُرِيْدُ أَنْ يَقْطَعَ بَعْثًا قَطَعَهُ أَوْ يَأْمُرَ بِشَيْءٍ أَمَرَ بِهِ ثُمَّ يَنْصَرِفُ

“Dari Abu Sa’id Al-Khudri ia mengatakan: Bahwa Rasulullah dahulu keluar di hari Idul Fitri dan Idhul Adha ke mushalla, yang pertama kali beliau lakukan adalah shalat, lalu berpaling dan kemudian berdiri di hadapan manusia sedang mereka duduk di shaf-shaf mereka. Kemudian beliau menasehati dan memberi wasiat kepada mereka serta memberi perintah kepada mereka. Bila beliau ingin mengutus suatu utusan maka beliau utus, atau ingin memerintahkan sesuatu maka beliau perintahkan, lalu beliau pergi.” (Shahih, HR. Al-Bukhari Kitab Al-’Idain Bab Al-Khuruj Ilal Mushalla bi Ghairil Mimbar dan Muslim)
Ibnu Hajar menjelaskan: “Al-Mushalla yang dimaksud dalam hadits adalah tempat yang telah dikenal, jarak antara tempat tersebut dengan masjid Nabawi sejauh 1.000 hasta.” Ibnul Qayyim berkata: “Yaitu tempat jamaah haji meletakkan barang bawaan mereka.”
Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu berkata: “Nampaknya tempat itu dahulu di sebelah timur masjid Nabawi, dekat dengan kuburan Baqi’…” (dinukil dari Shalatul ‘Idain fil Mushalla Hiya Sunnah karya Asy-Syaikh Al-Albani, hal. 16)

Waktu Pelaksanaan Shalat

يَزِيْدُ بْنُ خُمَيْرٍ الرَّحَبِيُّ قَالَ: خَرَجَ عَبْدُ اللهِ بْنُ بُسْرٍ صَاحِبُ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَعَ النَّاسِ فِي يَوْمِ عِيْدِ فِطْرٍ أَوْ أَضْحَى فَأَنْكَرَ إِبْطَاءَ اْلإِمَامِ. فَقَالَ: إِنَّا كُنَّا قَدْ فَرَغْنَا سَاعَتَنَا هَذِهِ وَذَلِكَ حِيْنَ التَّسْبِيْحِ
“Yazid bin Khumair Ar-Rahabi berkata: Abdullah bin Busr, salah seorang shahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pergi bersama orang-orang di Hari Idul Fitri atau Idhul Adha, maka ia mengingkari lambatnya imam. Iapun berkata: ‘Kami dahulu telah selesai pada saat seperti ini.’ Dan itu ketika tasbih.” (Shahih, HR. Al-Bukhari secara mua’llaq, Kitabul ‘Idain Bab At-Tabkir Ilal ‘Id, 2/456, Abu Dawud Kitabush Shalat Bab Waqtul Khuruj Ilal ‘Id: 1135, Ibnu Majah Kitab Iqamatush- shalah was Sunan fiha Bab Fi Waqti Shalatil ’Idain. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abu Dawud)
Yang dimaksud dengan kata “ketika tasbih” adalah ketika waktu shalat sunnah. Dan itu adalah ketika telah berlalunya waktu yang dibenci shalat padanya. Dalam riwayat yang shahih riwayat Ath-Thabrani yaitu ketika Shalat Sunnah Dhuha.
Ibnu Baththal berkata: “Para ahli fiqih bersepakat bahwa Shalat Id tidak boleh dilakukan sebelum terbitnya matahari atau ketika terbitnya. Shalat Id hanyalah diperbolehkan ketika diperbolehkannya shalat sunnah.” Demikian dijelaskan Ibnu Hajar. (Al-Fath, 2/457)
Namun sebenarnya ada yang berpendapat bahwa awal waktunya adalah bila terbit matahari, walaupun waktu dibencinya shalat belum lewat. Ini pendapat Imam Malik. Adapun pendapat yang lalu, adalah pendapat Abu Hanifah, Ahmad dan salah satu pendapat pengikut Syafi’i. (lihat Fathul Bari karya Ibnu Rajab, 6/104)
Namun yang kuat adalah pendapat yang pertama, karena menurut Ibnu Rajab: “Sesungguhnya telah diriwayatkan dari Ibnu Umar, Rafi’ bin Khadij dan sekelompok tabi’in bahwa mereka tidak keluar menuju Shalat Id kecuali bila matahari telah terbit. Bahkan sebagian mereka Shalat Dhuha di masjid sebelum keluar menuju Id. Ini menunjukkan bahwa Shalat Id dahulu dilakukan setelah lewatnya waktu larangan shalat.” (lihat Fathul Bari karya Ibnu Rajab, 6/105)

Apakah Waktu Idul Fitri lebih Didahulukan daripada Idul Adha?
Ada dua pendapat:
Pertama, bahwa keduanya dilakukan dalam waktu yang sama.
Kedua, disunnahkan untuk diakhirkan waktu Shalat Idul Fitri dan disegerakan waktu Idul Adha. Itu adalah pendapat Abu Hanifah, Asy-Syafi’i dan Ahmad. Ini yang dikuatkan Ibnu Qayyim, dan beliau mengatakan: “Dahulu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam melambatkan Shalat Idul Fitri serta menyegerakan Idul Adha. Dan Ibnu ‘Umar dengan semangatnya untuk mengikuti sunnah tidak keluar sehingga telah terbit matahari dan bertakbir dari rumahnya menuju mushalla.” (Zadul Ma’ad, 1/427, Fathul Bari karya Ibnu Rajab, 6/105)
Hikmahnya, dengan melambatkan Shalat Idul Fitri maka semakin meluas waktu yang disunahkan untuk mengeluarkan zakat fitrah; dan dengan menyegerakan Shalat Idul Adha maka semakin luas waktu untuk menyembelih dan tidak memberatkan manusia untuk menahan dari makan sehingga memakan hasil qurban mereka. (lihat Fathul Bari karya Ibnu Rajab, 6/105-106)

Tanpa Adzan dan Iqamah

عَنْ جَابِرِ بْنِ سَمُرَةَ قَالَ: صَلَّيْتُ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْعِيْدَيْنِ غَيْرَ مَرَّةٍ وَلاَ مَرَّتَيْنِ بِغَيْرِ أَذَانٍ وَلاَ إِقَامَةٍ

Dari Jabir bin Samurah ia berkata: “Aku shalat bersama Rasulullah 2 Hari Raya (yakni Idul Fitri dan Idul Adha), bukan hanya 1 atau 2 kali, tanpa adzan dan tanpa iqamah.” (Shahih, HR. Muslim)

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ وَعَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ اْلأَنْصَارِيِّ قَالاَ: لَمْ يَكُنْ يُؤَذَّنُ يَوْمَ الْفِطْرِ وَلاَ يَوْمَ اْلأَضْحَى ثُمَّ سَأَلْتُهُ بَعْدَ حِيْنٍ عَنْ ذَلِكَ فَأَخْبَرَنِي قَالَ: أَخْبَرَنِي جَابِرُ بْنُ عَبْدِ اللهِ اْلأَنْصَارِيُّ أَنْ لاَ أَذَانَ لِلصَّلاَةِ يَوْمَ الْفِطْرِ حِيْنَ يَخْرُجُ اْلإِمَامُ وَلاَ بَعْدَ مَا يَخْرُجُ وَلاَ إِقَامَةَ وَلا نِدَاءَ وَلاَ شَيْءَ، لاَ نِدَاءَ يَوْمَئِذٍ وَلاَ إِقَامَةَ

Dari Ibnu Abbas radhiallahu 'anhuma dan Jabir bin Abdillah Al-Anshari keduanya berkata: “Tidak ada adzan pada hari Fitri dan Adha.” Kemudian aku bertanya kepada Ibnu Abbas tentang itu, maka ia mengabarkan kepadaku bahwa Jabir bin Abdillah Al-Anshari mengatakan: “Tidak ada adzan dan iqamah di hari Fitri ketika keluarnya imam, tidak pula setelah keluarnya. Tidak ada iqamah, tidak ada panggilan dan tidak ada apapun, tidak pula iqamah.” (Shahih, HR. Muslim)
Ibnu Rajab berkata: “Tidak ada perbedaan pendapat di antara ulama dalam hal ini dan bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, Abu Bakar dan ‘Umar radhiallahu 'anhuma melakukan Shalat Id tanpa adzan dan iqamah.”
Al-Imam Malik berkata: “Itu adalah sunnah yang tiada diperselisihkan menurut kami, dan para ulama sepakat bahwa adzan dan iqamah dalam shalat 2 Hari Raya adalah bid’ah.” (Fathul Bari karya Ibnu Rajab, 6/94)
Bagaimana dengan panggilan yang lain semacam: Ash-shalatu Jami’ah?
Al-Imam Asy-Syafi’i dan pengikutnya menganggap hal itu sunnah. Mereka berdalil dengan: Pertama: riwayat mursal dari seorang tabi’in yaitu Az-Zuhri.
Kedua: mengqiyaskannya dengan Shalat Kusuf (gerhana).
Namun pendapat yang kuat bahwa hal itu juga tidak disyariatkan. Adapun riwayat dari Az-Zuhri merupakan riwayat mursal yang tentunya tergolong dha’if (lemah). Sedangkan pengqiyasan dengan Shalat Kusuf tidaklah tepat, dan keduanya memiliki perbedaan. Di antaranya bahwa pada Shalat Kusuf orang-orang masih berpencar sehingga perlu seruan semacam itu, sementara Shalat Id tidak. Bahkan orang-orang sudah menuju tempat shalat dan berkumpul padanya. (Fathul Bari, karya Ibnu Rajab, 6/95)
Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz rahimahullahu berkata: “Qiyas di sini tidak sah, karena adanya nash yang shahih yang menunjukkan bahwa di zaman Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk Shalat Id tidak ada adzan dan iqamah atau suatu apapun. Dan dari sini diketahui bahwa panggilan untuk Shalat Id adalah bid’ah, dengan lafadz apapun.” (Ta’liq terhadap Fathul Bari, 2/452)
Ibnu Qayyim berkata: Apabila Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam sampai ke tempat shalat maka mulailah beliau shalat tanpa adzan dan iqamah dan tanpa ucapan “Ash-shalatu Jami’ah”, dan Sunnah Nabi adalah tidak dilakukan sesuatupun dari (panggilan-panggilan) itu. (Zadul Ma’ad, 1/427)

Kaifiyah (Tata Cara) Shalat Id
Shalat Id dilakukan dua rakaat, pada prinsipnya sama dengan shalat-shalat yang lain. Namun ada sedikit perbedaan yaitu dengan ditambahnya takbir pada rakaat yang pertama 7 kali, dan pada rakaat yang kedua tambah 5 kali takbir selain takbiratul intiqal.
Adapun takbir tambahan pada rakaat pertama dan kedua itu tanpa takbir ruku’, sebagaimana dijelaskan oleh ‘Aisyah dalam riwayatnya:

عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَبَّرَ فِي الْفِطْرِ وَاْلأَضْحَى سَبْعًا وَخَمْسًا سِوَى تَكْبِيْرَتَيْ الرُّكُوْعِ

“Dari Aisyah, ia berkata: Rasulullah bertakbir para (shalat) Fitri dan Adha 7 kali dan 5 kali selain 2 takbir ruku’.” (HR. Abu Dawud dalam Kitabush Shalat Bab At-Takbir fil ’Idain. ‘Aunul Ma’bud, 4/10, Ibnu Majah no. 1280, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Abani dalam Shahih Sunan Abu Dawud no. 1149)
Pertanyaan: Apakah pada 5 takbir pada rakaat yang kedua dengan takbiratul intiqal (takbir perpindahan dari sujud menuju berdiri)?
Ibnu Abdil Bar menukilkan kesepakatan para ulama bahwa lima takbir tersebut selain takbiratul intiqal. (Al-Istidzkar, 7/52 dinukil dari Tanwirul ‘Ainain)
Pertanyaan: Tentang 7 takbir pertama, apakah termasuk takbiratul ihram atau tidak?
Dalam hal ini terjadi perbedaan pendapat:
Pertama: Pendapat Al-Imam Malik, Al-Imam Ahmad, Abu Tsaur dan diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas radhiallahu 'anhuma bahwa 7 takbir itu termasuk takbiratul ihram. (lihat Fathul Bari karya Ibnu Rajab, 6/178, Aunul Ma’bud, 4/6, Istidzkar, 2/396 cet. Darul Kutub Al-Ilmiyyah)
Kedua: Pendapat Al-Imam Asy-Syafi’i, bahwa 7 takbir itu tidak termasuk takbiratul ihram. (Al-Umm, 3/234 cet. Dar Qutaibah dan referensi sebelumnya)
Nampaknya yang lebih kuat adalah pendapat Al-Imam Asy-Syafi’i. Hal itu karena ada riwayat yang mendukungnya, yaitu:

عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيْهِ عَنْ جِدِّهِ: أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَبَّرَ فِي الْعِيْدَيْنِ اثْنَتَيْ عَشْرَةَ تَكْبِيْرَةً، سَبْعًا فِي اْلأُوْلَى وَخَمْسًا فِي اْلآخِرَةِ سِوَى تَكْبِيْرَتَيِ الصَّلاَةِ

“Dari ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bertakbir pada 2 hari raya 12 takbir, 7 pada rakaat yang pertama dan 5 pada rakaat yang terakhir, selain 2 takbir shalat.”(Ini lafadz Ath-Thahawi)
Adapun lafadz Ad-Daruquthni:

سِوَى تَكْبِيْرَةِ اْلإِحْرَامِ

“Selain takbiratul ihram.” (HR. Ath-Thahawi dalam Ma’ani Al-Atsar, 4/343 no. 6744 cet. Darul Kutub Al-Ilmiyyah, Ad-Daruquthni, 2/47-48 no. 20)
Dalam sanad hadits ini ada seorang perawi yang diperselisihkan bernama Abdullah bin Abdurrahman At-Tha‘ifi. Akan tetapi hadits ini dishahihkan oleh Al-Imam Ahmad, ‘Ali Ibnul Madini dan Al-Imam Al-Bukhari sebagaimana dinukilkan oleh At-Tirmidzi. (lihat At-Talkhis, 2/84, tahqiq As-Sayyid Abdullah Hasyim Al-Yamani, At-Ta’liqul Mughni, 2/18 dan Tanwirul ‘Ainain, hal. 158)
Adapun bacaan surat pada 2 rakaat tersebut, semua surat yang ada boleh dan sah untuk dibaca. Akan tetapi dahulu Nabi membaca pada rakaat yang pertama “Sabbihisma” (Surat Al-A’la) dan pada rakaat yang kedua “Hal ataaka” (Surat Al-Ghasyiah). Pernah pula pada rakaat yang pertama Surat Qaf dam kedua Surat Al-Qamar (keduanya riwayat Muslim, lihat Zadul Ma’ad, 1/427-428)

Apakah Mengangkat Tangan di Setiap Takbir Tambahan?
Terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama. Jumhur ulama berpendapat mengangkat tangan.
Sementara salah satu dari pendapat Al-Imam Malik tidak mengangkat tangan, kecuali takbiratul ihram. Ini dikuatkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Tamamul Minnah (hal. 349). Lihat juga Al-Irwa‘ (3/113).
Tidak ada riwayat dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang shahih dalam hal ini.

Kapan Membaca Doa Istiftah?
Al-Imam Asy-Syafi’i dan jumhur ulama berpendapat setelah takbiratul ihram dan sebelum takbir tambahan. (Al-Umm, 3/234 dan Al-Majmu’, 5/26. Lihat pula Tanwirul ‘Ainain hal. 149)

Khutbah Id
Dahulu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mendahulukan shalat sebelum khutbah.

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: شَهِدْتُ الْعِيْدَ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ فَكُلُّهُمْ كَانُوا يُصَلُّوْنَ قَبْلَ الْخُطْبَةِ

“Dari Ibnu ‘Abbas ia berkata: Aku mengikuti Shalat Id bersama Rasulullah, Abu Bakr, ‘Umar dan ‘Utsman maka mereka semua shalat dahulu sebelum khutbah.” (Shahih, HR Al-Bukhari Kitab ‘Idain Bab Al-Khutbah Ba’dal Id)
Dalam berkhutbah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri dan menghadap manusia tanpa memakai mimbar, mengingatkan mereka untuk bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Bahkan juga beliau mengingatkan kaum wanita secara khusus untuk banyak melakukan shadaqah, karena ternyata kebanyakan penduduk neraka adalah kaum wanita.
Jamaah Id dipersilahkan memilih duduk mendengarkan atau tidak, berdasarkan hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam:

عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ السَّائِبِ قَالَ: شَهِدْتُ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْعِيْدَ فَلَمَّا قَضَى الصَّلاَةَ قَالَ: إِنَّا نَخْطُبُ فَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَجْلِسَ لِلْخُطْبَةِ فَلْيَجْلِسْ وَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَذْهَبَ فَلْيَذْهَبْ

Dari ‘Abdullah bin Saib ia berkata: Aku menyaksikan bersama Rasulullah Shalat Id, maka ketika beliau selesai shalat, beliau berkata: “Kami berkhutbah, barangsiapa yang ingin duduk untuk mendengarkan khutbah duduklah dan barangsiapa yang ingin pergi maka silahkan.” (Shahih, HR. Abu Dawud dan An-Nasa`i. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abu Dawud, no. 1155)
Namun alangkah baiknya untuk mendengarkannya bila itu berisi nasehat-nasehat untuk bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dan berpegang teguh dengan agama dan Sunnah serta menjauhi bid’ah. Berbeda keadaannya bila mimbar Id berubah menjadi ajang kampanye politik atau mencaci maki pemerintah muslim yang tiada menambah di masyarakat kecuali kekacauan. Wallahu a’lam.

Wanita yang Haid
Wanita yang sedang haid tetap mengikuti acara Shalat Id, walaupun tidak boleh melakukan shalat, bahkan haram dan tidak sah. Ia diperintahkan untuk menjauh dari tempat shalat sebagaimana hadits yang lalu dalam pembahasan hukum Shalat Id.

Sutrah Bagi Imam
Sutrah adalah benda, bisa berupa tembok, tiang, tongkat atau yang lain yang diletakkan di depan orang shalat sebagai pembatas shalatnya, panjangnya kurang lebih 1 hasta. Telah terdapat larangan dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk melewati orang yang shalat. Dengan sutrah ini, seseorang boleh melewati orang yang shalat dari belakang sutrah dan tidak boleh antara seorang yang shalat dengan sutrah. Sutrah ini disyariatkan untuk imam dan orang yang shalat sendirian atau munfarid. Adapun makmum tidak perlu dan boleh lewat di depan makmum. Ini adalah Sunnah yang mayoritas orang meninggalkannya. Oleh karenanya, marilah kita menghidupkan sunnah ini, termasuk dalam Shalat Id.

عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا خَرَجَ يَوْمَ الْعِيْدِ أَمَرَ بِالْحَرْبَةِ فَتُوْضَعُ بَيْنَ يَدَيْهِ فَيُصَلِّي إِلَيْهَا وَالنَّاسُ وَرَاءَهُ وَكَانَ يَفْعَلُ ذَلِكَ فِي السَّفَرِ فَمِنْ ثَمَّ اتَّخَذَهَا اْلأُمَرَاءُ

“Dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dahulu apabila keluar pada hari Id, beliau memerintahkan untuk membawa tombak kecil, lalu ditancapkan di depannya, lalu beliau shalat ke hadapannya, sedang orang-orang di belakangnya. Beliau melakukan hal itu di safarnya dan dari situlah para pimpinan melakukannya juga.” (Shahih, HR. Al-Bukhari Kitabush Shalat Bab Sutratul Imam Sutrah liman Khalfah dan Kitabul ‘Idain Bab Ash-Shalat Ilal harbah Yaumul Id. Al-Fath, 2/463 dan Fathul Bari karya Ibnu Rajab, 6/136)

Bila Masbuq (Tertinggal) Shalat Id, Apa yang Dilakukan?
Al-Imam Al-Bukhari membuat bab dalam Shahih-nya berjudul: “Bila tertinggal shalat Id maka shalat 2 rakaat, demikian pula wanita dan orang-orang yang di rumah dan desa-desa berdasarkan sabda Nabi: ‘Ini adalah Id kita pemeluk Islam’.”
Adalah ‘Atha` (tabi’in) bila ketinggalan Shalat Id beliau shalat dua rakaat.
Bagaimana dengan takbirnya? Menurut Al-Hasan, An-Nakha’i, Malik, Al-Laits, Asy-Syafi’i dan Ahmad dalam satu riwayat, shalat dengan takbir seperti takbir imam. (Fathul Bari karya Ibnu Rajab, 6/169)

Pulang dari Shalat Id Melalui Rute Lain saat Berangkat

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا كَانَ يَوْمُ عِيْدٍ خَالَفَ الطَّرِيْقَ

Dari Jabir, ia berkata:” Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam apabila di hari Id, beliau mengambil jalan yang berbeda. (Shahih, HR. Al-Bukhari Kitab Al-’Idain Bab Man Khalafa Thariq Idza Raja’a…, Fathul Bari karya Ibnu Hajar, 2/472986, karya Ibnu Rajab, 6/163 no. 986)
Ibnu Rajab berkata: “Banyak ulama menganggap sunnah bagi imam atau selainnya, bila pergi melalui suatu jalan menuju Shalat Id maka pulang dari jalan yang lainnya. Dan itu adalah pendapat Al-Imam Malik, Ats-Tsauri, Asy-Syafi’i dan Ahmad… Dan seandainya pulang dari jalan itu, maka tidak dimakruhkan.”
Para ulama menyebutkan beberapa hikmahnya, di antaranya agar lebih banyak bertemu sesama muslimin untuk memberi salam dan menumbuhkan rasa cinta. (Fathul Bari karya Ibnu Rajab, 6/166-167. Lihat pula Zadul Ma’ad, 1/433)

Bila Id Bertepatan dengan Hari Jum’at

عَنْ إِيَاسِ بْنِ أَبِي رَمْلَةَ الشَّامِيِّ قَالَ: شَهِدْتُ مُعَاوِيَةَ بْنَ أَبِي سُفْيَانَ وَهُوَ يَسْأَلُ زَيْدَ بْنَ أَرْقَمَ قَالَ: أَشَهِدْتَ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عِيْدَيْنِ اجْتَمَعَا فِي يَوْمٍ؟ قَالَ: نَعَمْ. قَالَ: فَكَيْفَ صَنَعَ؟ قَالَ: صَلَّى الْعِيْدَ ثُمَّ رَخَّصَ فِي الْجُمُعَةِ، فَقَالَ: مَنْ شَاءَ أَنْ يُصَلِّيَ فَلْيُصَلِّ

Dari Iyas bin Abi Ramlah Asy-Syami, ia berkata: Aku menyaksikan Mu’awiyah bin Abi Sufyan, dia sedang bertanya kepada Zaid bin Arqam: “Apakah kamu menyaksikan bersama Rasulullah, dua Id berkumpul dalam satu hari?” Ia menjawab: “Iya.” Mu’awiyah berkata: “Bagaimana yang beliau lakukan?” Ia menjawab: “Beliau Shalat Id lalu memberikan keringanan pada Shalat Jumat dan mengatakan: ‘Barangsiapa yang ingin mengerjakan Shalat Jumat maka shalatlah’.”

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ: قَدْ اجْتَمَعَ فِي يَوْمِكُمْ هَذَا عِيْدَانِ، فَمَنْ شَاءَ أَجْزَأَهُ مِنْ الْجُمُعَةِ وَإِنَّا مُجَمِّعُوْنَ

Dari Abu Hurairah, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa beliau berkata: “Telah berkumpul pada hari kalian ini 2 Id, maka barangsiapa yang berkehendak, (Shalat Id) telah mencukupinya dari Jum’at dan sesungguhnya kami tetap melaksanakan Jum’at.” (Keduanya diriwayatkan Abu Dawud dan dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abu Dawud no. 1070 dan 1073)
Ibnu Taimiyyah berkata: “Pendapat yang ke-3 dan itulah yang benar, bahwa yang ikut Shalat Id maka gugur darinya kewajiban Shalat Jum’at. Akan tetapi bagi imam agar tetap melaksanakan Shalat Jum’at, supaya orang yang ingin mengikuti Shalat Jum’at dan orang yang tidak ikut Shalat Id bisa mengikutinya. Inilah yang diriwayatkan dari Nabi dan para shahabatnya.” (Majmu’ Fatawa, 23/211)
Lalu beliau mengatakan juga bahwa yang tidak Shalat Jum’at maka tetap Shalat Dzuhur.
Ada sebagian ulama yang berpendapat tidak Shalat Dzuhur pula, di antaranya ‘Atha`. Tapi ini pendapat yang lemah dan dibantah oleh para ulama. (Lihat At-Tamhid, 10/270-271)

Ucapan Selamat Saat Hari Raya
Ibnu Hajar mengatakan: “Kami meriwayatkan dalam Al-Muhamiliyyat dengan sanad yang hasan dari Jubair bin Nufair bahwa ia berkata: ‘Para shahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bila bertemu di hari Id, sebagian mereka mengatakan kepada sebagian yang lain:

تَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَمِنْكَ

“Semoga Allah menerima (amal) dari kami dan dari kamu.” (Lihat pula masalah ini dalam Ahkamul ‘Idain karya Ali Hasan hal. 61, Majmu’ Fatawa, 24/253, Fathul Bari karya Ibnu Rajab, 6/167-168)
Wallahu a’lam.

Footnote :
1 'Id artinya kembali.
2 Karena Nabi tidak memberi contoh demikian dalam ibadah ini. Lain halnya –wallahu a’lam– bila kebersamaan itu tanpa disengaja.

(Dikutip dari tulisan Al-Ustadz Qomar ZA, Lc, judul "Meneladani Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam Ber'idul Fithri". Url Sumber : http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=373)

Berita Utama

Economy NEWS